Perjumpaan untuk Pertama Kalinya
— tulisan lama yang agak jelimet meski sudah diperbaiki tata letaknya, harap maklum.
Suatu pagi di bulan suci Ramadan, tepatnya pukul 08.55 WIB, untuk pertama kalinya saya bermimpi berjumpa Mbah Wali Gus Dur. Sosok paripurna yang menjadi panutan dan idola saya sejak lama. Kenapa saya ingat jamnya? Karena saya bangun beranjak dari tidur pukul 09.04 WIB, jadi ada kemungkinan mimpinya mulai pukul 08.55 WIB. Dan tepat pada pukul 09.00 WIB saya terbangun (memang terasa tidak begitu lama).
Dalam mimpi itu, awalnya saya bersama kakak Ipar saya dan satu orang lagi. Kala itu saya sedang di dekat ladang di sekitaran Desa saya (Situ; nama tempat). Dan tiba-tiba seolah seperti sedang musim jamur. Saya pun mencarinya dan seketika saja bertebaran jamur yang sangat banyak sekali jumlahnya. Saya mengambilinya satu persatu berebutan dengan seseorang (saya hafal orangnya, tapi seperti tidak mengenali namanya) hingga tidak terasa sudah dapat banyak sampai satu gembolan besar (kalau dipikir seperti tidak mungkin dapat sebanyak itu, dan yang anehnya lagi pada waktu itu juga saya tidak bawa sarung — samping perempuan, tiba-tiba saja tersedia. Ya, namanya juga mimpi).
Setelah dikiranya selesai mengambili jamur dan dapat satu gembolan besar, kemudian saya bermaksud pulang bersama seorang pemuda gagah tadi. Saya kenal dan hafal betul orang tersebut, saya sangat akrab, tapi setelah bangun saya tidak ingat. Di perjalanan pulang, di jalanan ladang bersama seorang pemuda itu dari kejauhan saya melihat Gus Dur sedang berjalan menuju jalan yang kami lewati juga (jalan galengan antara ladang dan kolam ikan). Akan tetapi beliau seolah lebih dulu berjalannya dan tetiba sudah belok menuju jalan tersebut.
Dari arah sebelah kiri berjalan beriringan tiga sosok yang juga sangat saya kenali. Mereka adalah dua Kiai saya dan seorang lagi Kakek saya di barisan paling belakang. Mereka berjalan dengan wajah yang cerah dan tersenyum, seakan-akan membersamai dan mengantarkan Gus Dur ke arah saya.
Saya terperangah kaget dan meminta teman pemuda karib yang membersamai saya pulang itu untuk menemani saya untuk bertemu matur sungkem kepada Gus Dur.
Di mimpi itu saya mengetahui dan betul-betul sadar kalau beliau sebenarnya memang sudah wafat. Kenapa saya memintanya untuk mengantarkan saya, karena tetiba di situ seorang pemuda lelaki itu ternyata adalah cucunya Gus Dur, maka dari itu saya memintanya untuk mengantarkan saya kepada beliau. Setelah sampai dan matur sun tangan. Kami berjalan di belakangnya dan beliau bertanya :
“Pada habis dari mana kalian?”
“Anu Mbah, kami habis mencari jamur”. Waktu itu saya yang menjawab.
“Oh iya…” Jawab beliau.
Setelah itu, di penghujung jalan, Gus Dur berhenti dan membuka sesuatu, yang ternyata itu adalah dua Peci. Awalnya saya tidak tahu itu kedua peci buat siapa, tapi saya baru tahu setelah pemuda itu bertanya.
“Mbah, itu pecinya buat kami berdua?
“Iya buat kalian”. Tegas beliau.
Kami serentak berucap… “Alhamdulillah”. Pada waktu itu beliau seperti bergumam, “Mereka sudah dewasa dan terima kasih sudah menamani anak-anak saya”. Ketika itu juga setelah tahu bahwa kedua peci tersebut buat kami, saya berbisik meminta si pemuda untuk memintakan kepada beliau untuk mendokan saya terlebih dahulu.
“Mbah, teman saya mohon di doakan terlebih dahulu”. Pinta si pemuda mengabulkan permintaan saya.
Kemudian beliau mengangguk mengiyakan. Setelah itu saya maju dan kepala saya berada di pangkuan beliau, kedua tangan beliau di atas kepala saya sambil menengadah dan salah satu peci buat saya di salah satu tangan beliau.
Ketika maju ke hadapan beliau, saya meminta di doakan kepada Allah SWT supaya saya menjadi anak yang shalih, menjadi orang yang bermanfaat dan membanggakan kedua orang tua. Beliau lantas berdoa dan seperti di ulang-ulang doanya itu.
Beliau setengah berbisik, dan yang saya dengar dengan jelas dari doa beliau adalah, “Ya Allah …..” ada doa… Kemudian…. “Karena anak ini tidak menyia-nyiakan waktunya di masa mudanya”. Awalnya, saya mengira (karena kurang kedengeran) beliau berdoa, “Karena anak ini menyia-nyiakan waktu mudanya”, saya kala itu menangis dan terus menangis sesenggukan. Tapi, ketika beliau berulang-ulang berdoa itu saya mendengar jelas, “Karena anak ini tidak menyia-nyiakan waktunya di masa mudanya”, ada doa lanjutannya oleh beliau saya kurang mendengarnya. Dan waktu itu saya teringat dan seperti mendapat isyarat bahwa saya telah berjuang bersama jam’iyah NU (organisasi sayap mahasiswa) di usia muda, dan harus tetap bersama NU ketika usia tua sampe akhir hayat.
Sambil menangis sesenggukan saya mengamini doa beliau itu, “Aamiin, Aamiin ya rabbal alamin”, dengan berulang-ulang sampai tidak terasa saya tiba-tiba terbangun dan sadar sembari masih mengucapkan “Aamiin, Aamiin ya rabbal alamin”. Kala itu saya tidak percaya kalau itu adalah mimpi, karena sangat seperti nyata. Setelah saya sadar saya sepontan berucap “Alhamdulillahirobbil’alamin” berulang-ulang, kemudian bangun dan sujud syukur.
Seingat saya, sebelum mimpi tersebut, sebelumnya saya bermimpi bertemu dengan Mbah Semar dan memberikan saya sumber serta filosofi kehidupan.
Kurang lebihnya seperti ini :
Intinya dalam hidup ini, di samping kita harus beribadah kepada Allah SWT (mungkin dalam hal ini maksudnya berdoa — diiringi dengan terus memperbaiki kualitas ibadah), kita juga harus selalu berikhtiar — kerja keras. Dan berdoalah-apa saja, sampaikanlah segala keluh kesah hidup hanya kepada-Nya. Allah SWT akan memberikan bukan apa yang kita minta, tapi Ia akan memberikan apa yang kita butuhkan. Karena Ia lebih mengetahuinya. Dan Maha Mengetahui Atas Segala Sesuatu.
Allahu a’alam.
*
— A.M. Mustafa | Ditulis pada hari Sabtu 16 Mei 2020, KPM Tasikmalaya — Diedit tata letak tulisnya pada 12 Juni 2023, Sleman Yogyakarta.